
Malam selalu punya cara sendiri untuk membuat seseorang merasa paling sendirian di dunia. Begitu juga malam itu—angin berhembus perlahan, menyingkap dingin yang merayap masuk ke dalam kamar sempit milik Ardan. Ia duduk di tepi ranjang, menatap langit-langit seakan di sana ada jawaban.
Di tengah rasa sepi yang menekan dada, bayangan tentang perempuan yang pernah ia sayangi tiba-tiba muncul lagi. Wajahnya, tawanya, caranya memanggil nama Ardan dengan nada lembut—semua menyerbu tanpa aba-aba.
"Oh, kau kurindu… Aku rindu, sayang," gumamnya lirih, seperti berharap rindu itu bisa terbang dan menemui pemiliknya.
Sudah lama perempuan itu pergi tanpa jejak. Tidak ada pesan, tidak ada alasan yang jelas. Namun, anehnya, kepergiannya tidak pernah benar-benar membuat kehangatannya hilang. Setiap malam, Ardan merasa seolah tubuhnya masih memeluknya. Seakan ranjang itu masih menyimpan sisa-sisa kebersamaan mereka.
Ia menarik napas panjang, berat.
"Walau kau tak di sini… tapi rasamu masih menetap."
Terkadang, rindu itu menjerat seperti tangan tak terlihat. Malam itu, rasanya bahkan lebih kuat—seperti menekan jantungnya perlahan, hingga hampir sakit. Ardan meremas ujung selimut.
"Rasa sepi seperti membunuhku… entah nanti atau hari ini, tolong… datanglah."
Kenangan menyeruak: pagi-pagi yang selalu mereka sambut bersama. Perempuan itu selalu bangun lebih dulu, lalu berbaring di dadanya sambil mendengarkan detak jantungnya. Katanya, itu suara paling menenangkan di dunia.
Ardan tersenyum getir. Hal-hal kecil yang dulu terasa biasa, kini menjelma seperti mimpi indah yang jauh.
Ia menutup mata, membiarkan memori itu kembali mengalir. Mereka pernah berbahagia, meski sesaat. Mereka pernah saling menggenggam, meski akhirnya lepas.
Tapi mengapa hatinya masih terikat?
"Dimana kau sekarang?" Ardan bertanya pada kegelapan. "Ku ingin kau ada… entah di bumi, ataukah di angkasa. Aku tak peduli."
Ia bangkit, melangkah ke jendela. Kota kecil itu sudah tertidur. Lampu-lampu jalan meredup, menyisakan cahaya kekuningan yang temaram. Langit pekat, tak ada bintang. Tapi Ardan tetap memandangnya seolah dari sanalah seseorang yang ia cari akan muncul.
Hening.
Ardan menutup mata lagi.
"Ku tak kuasa menahan rindu lama… tolong, datanglah. Sekali saja. Tunjukkan kalau kau masih ada."
Namun tak ada jawaban. Hanya angin malam yang lewat dan menggerakkan tirai.
Tetapi, meski tak datang, meski tak ada kabar—Ardan tetap berdiri di sana. Menunggu. Karena beberapa rindu memang tidak bisa mati, hanya bisa ditanggung. Dan beberapa cinta tidak pernah benar-benar hilang, hanya berpindah menjadi doa yang terus menggantung di udara.
Sampai kapan?
Ardan sendiri tak tahu.
Yang ia tahu hanya satu: Ia ingin perempuan itu datang.
Ingin… meski mungkin takkan pernah.
Navicula - Ingin Kau Datang | Lirik
Sendiri sepi di tengah malam
Membayang dikau di masa silam
Oh, kau kurindu
Aku rindu, sayang
Walau kau tak di sini
Namun, spertinya masih kurasa
Hangat tubuhmu di ranjangku
Hangat senyummu membelai jiwaku
Oh, kau kurindu
Aku rindu
Ku tak mampu, menahan rasa ini
Rasa sepi seperti membunuhku
Entah nanti, ataukah hari ini
Lama kunanti, kuingin kau datang
Masih kuingat hari-hari
Saat pagi menyambut mentari
Kita terjaga, bersama
Saat kepalamu di dadaku
Dan kau hitung detak jantungku
Oh, kau kurindu
Aku rindu
Ku tak kuasa, menahan rindu lama
Dimana kau, kuingin kau ada
Entah di bumi, ataukah di angkasa
Ku tak peduli, kuingin kau datang
"..."
Ku tak kuasa, menahan rindu lama
Dimana kau, kuingin kau ada
Entah di bumi, ataukah di angkasa
Ku tak peduli, kuingin kau datang
Ingin kau datang
Ingin kau datang